Kisah Menyentuh Qolbu, Tidak Ada Jalan Untuk Maksiat

Kemaksiatan adalah sumber malapetaka. Sudah selayaknya seorang beriman harus senantiasa menjauhi perbuatan maksiat. Kisah dalam al Qur’an telah mengajarkan kepada kita ternyata semua bencana itu sumbernya adalah kemaksiatan seperti iblis dan adam di usir dari surga. Tapi yang beda iblis tidak mau taubat, namun Adam as mau bertaubat kepada Allah Swt. Maka kalau kita ingin bahagia, selamat sudah selayaknya menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Untuk menyadarkan kita agar tidak melakukan kemaksiatan. Ada sebuah kisah yang menyentuh jiwa. Dahulu hiduplah seorang ulama bernama Ibrahim bin Ad dham. Ia bercerita, bahwa dirinya pernah didatangi seorang laki-laki ahli maksiat. Pemuda itu datang kepada dirinya untuk meminta nasihat atas pribadinya yang penuh dengan perbuatan maksiat. Lelaki itu berkata kepadanya, “Wahai Abu Ishak – gelar Ibrahim bin Ad dham. Saya seorang yang banyak berdosa lagi zalim. Sudikah kiranya tuan mengajari saya hidup zuhud, agar Allah Swt menerangi jalan hidup saya dan melembutkan hati saya yang kesat ini”. Ibrahim bin Ad dham menjawab, “Kalau kau dapat memegang teguh enam perkara berikut ini, niscaya engkau akan selamat.” “Apa itu?” tanyanya. “Pertama, bila engkau bermaksiat, janganlah engkau memakan rezeki Allah.” “Jika di seluruh penjuru bumi ini, baik di barat maupun di timur, di darat maupun di laut, di kebun dan di gunung-gunung, ada rezeki Allah maka dari mana aku makan?” tanyanya. “Wahai saudaraku, kalau engkau masih memakan rezeki Allah, masih pantaskah engkau berbuat maksiat dan melanggar peraturannya?” “Tidak, demi Allah!” Ungkau pemuda itu. Lalu ia melanjutkan, Bagaimana yang kedua? “Kedua, bila engkau bermaksiat kepada Allah, janganlah engkau tinggal di bumi-Nya!” “Tuan Ibrahim, demi Allah, yang kedua ini lebih berat. Bukankah bumi ini milik-Nya? Jika aku tak diperbolehkan tinggal, lalu di mana aku harus tinggal?” “Wahai saudaraku, bila engkau masih makan rezeki Allah dan tinggal di bumi-Nya, masihkah engkau pantas berbuat maksiat kepada-Nya? “Tidak, Tuan guru! Lalu apa yang ketiga?” pintanya. “Ketiga, jika engkau hendak berbuat maksiat, menjauhlah ketempat yang Allah tidak dapat melihatmu, atau anggaplah dial alai kepadamu!” “Tuan guru, itu adalah hal yang mustahil. Bagaimana mungkin, padahal Allah Maha Mengetahui Segala Sesuatu dan Melihat setiap hati manusia?” “Saudaraku, jika engkau menikmati rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan mengatahui bahwa Allah Maha Mengetahui, masih pantaskah engkau berbuat maksiat kepada-Nya?” tegasnya. Maka pemuda ahli maksiat itu mengatakan, tentu saja tidak, wahai tuan guru. Lantas bagaimana yang keempat?” “Keempat, Apabila datang kepadamu malaikat maut, hendak mencabut nyawamu, maka katakan kepada malaikat itu, “Tunggulah dulu, aku akan bertaubat”. “Tuan guru, itu tidak mungkin. Bagaimana malaikat mengabulkan permintaanku, sedangkan aku sendiri tak tahu kapan malaikat menjemputku?” “Kalau sadar bahwa engkau tidak mengetahui saat kedatangannya, tentu ia akan datang kepadamu kapan saja dan tak mungkin engkau mampu menolak keinginannya, bahkan mungkin sebelum engkau taubat”. “Benar, Guru! Sekarang bagaimana yang kelima?” desaknya dengan malu-malu. “Kelima, jika nanti datang kepadamu malaikat Munkar dan Nakir, lawanlah kedua malaikat itu.” “Itu tidak mungkin, Guru. Bagaimana mungkin saya melawan malaikat? Lantas yang keenam bagaimana, tuan Guru?” Ibrahim bin Ad dham melanjutkan penjelasannya, “Keenam, bila esok engkau berada di sisi Allah, dan Allah menyuruhmu masuk neraka, malaikat penjaga neraka membawamu masuk kedalamnya. Tolaklah dan katakanlah, “Aku tidak Mau!” “Wahai tuan guru, cukuplah. Cukuplah nasihatmu!” Jawab lelaki itu dan ia pun pergi. Nasihat-nasihat sang guru benar-benar dipahami dan dibenarkan. Ia merenungkan bagaimana perbuatannya bisa bebas dilakukan tanpa memikirkan hal-hal yang disampaikan oleh sang guru. Ia merasa sangat bersalah dan berjanji akan benar-benar menjadi pribadi yang baik dan menjalankan semua perintah-Nya. Sungguh, ini adalah nasihat mengandung hikmah untuk orang beriman. Sebagai hamba Allah ketika menikmati rezeki Allah, pantaskah ia durhaka kepada-Nya?. Ketika ia masih hidup di bumi-Nya, pantaskah ia lalai kepada-Nya? Saat ia tahu bahwa Allah Swt maha mengetahui, masihkah bermaksaiat ia tidak malu kepada Allah. Tentu semua itu tidak pantas. Jadi tidak ada jalan untuk berbuat maksiat kepada Allah Swt. (Abu Kholid/annajah

Pages